Jumat, 30 September 2011

Pengaruh Manajemen Laba dan Asimetri Informasi terhadap Biaya Modal Ekuitas


PENGARUH MANAJEMEN LABA DAN ASIMETRI INFORMASI TERHADAP BIAYA MODAL EKUITAS (STUDI PADA PERUSAHAAN PUBLIK SEKTOR MANUFAKTUR)

Usulan Penelitian Skripsi Mahasiswa




Disusun Oleh
Apriadi
20050420149


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP BIAYA MODAL EKUITAS (STUDI PADA PERUSAHAAN PUBLIK SEKTOR MANUFAKTUR)
A.       Latar Belakang
Idealnya pasar modal adalah merupakan wadah bagi terjadinya mekanisme transaksi saham yang  fair. Namun transaksi saham yang  fair sulit tercapai karena adanya konflik kepentingan dan tidak transparannya laporan keuangan emiten. Berdasarkan pada laporan Bapepam terdapat 25 kasus pelanggaran pasar modal yang terjadi selama tahun 2002 sampai dengan Maret 2003. Dari 25 kasus pelanggaran tersebut, terdapat 13 kasus yang berkaitan dengan benturan kepentingan dan keterbukaan informasi. Kemudian kasus keterlambatan laporan keuangan juga terus terjadi. Keterlambatan publikasi laporan keuangan mengindikasikan adanya masalah dalam pelaporan keuangan emiten sehingga memerlukan waktu penyelesaian yang lebih lama (Wiwik utami, 2005).
Menurut Healy dan Palepu (1993), ada tiga kondisi yang menyebabkan komunikasi melalui laporan keuangan tidak sempurna dan tidak transparan yaitu:  (1) dibandingkan dengan investor, manajer memiliki informasi lebih banyak tentang strategi dan operasi bisnis yang dikelolanya, (2) kepentingan manajer tidak selalu selaras dengan kepentingan investor, dan (3) ketidaksempurnaan dari aturan akuntansi dan audit.
Leuz et al. (2003) melakukan studi komparatif internasional tentang manajemen laba dan   proteksi investor dengan sampel 31 negara, yang meliputi periode pengamatan dari  tahun 1990 sampai tahun 1999. Dalam penelitian ini  Indonesia termasuk sebagai sampel. Tujuan penelitiannya adalah untuk memberikan bukti empirik adanya perbedaan manajemen laba di berbagai   negara,   dan perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan proteksi terhadap investor. Bedasarkan pada nilai rata-rata skor manajemen laba, Indonesia berada pada urutan ke 15 dari 31 negara. Artinya, Indonesia berada pada tingkat menengah,  tingkat terendah manajemen laba adalah Amerika Serikat. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN yang ikut terpilih sebagai sampel yaitu: Malaysia, Filipina,  dan Thailand, maka Indonesia adalah yang paling besar tingkat manajemen labanya. Untuk skor legal enforcement Indonesia mendapat skor 2,9 dan merupakan skor terendah dari 31 negara, artinya bahwa legal enforcement di Indonesia sangat lemah dan ini berdampak pada rendahnya tingkat proteksi terhadap investor.
Adanya bukti empirik bahwa tingkat manajemen laba emiten di Indonesia relatif tinggi dan tingkat proteksi terhadap investor yang rendah, menimbulkan  pertanyaan, apakah investor mempertimbangkan besaran akrual (proksi  manajemen laba) dalam menentukan tingkat imbal hasil saham yang  dipersyaratkan (required  rate  of  return)? Tingkat imbal hasil saham yang  dipersyaratkan adalah tingkat pengembalian yang diinginkan oleh investor  untuk  mau menanamkan uangnya di perusahaan, dan dikenal dengan sebutan biaya modal ekuitas.

Penelitian tentang pengaruh manajemen laba terhadap biaya modal ekuitas masih sangat sedikit. Sebagian besar penelitian manajemen laba dikaitkan dengan  hipotesis akuntansi positip (Watt  and  Zimmerman:1978), penawaran saham  perdana  atau  Initial Publik Offering (IPO), Seasoned Equity Offering (SEO) serta take over. Penelitian yang dilakukan oleh Saiful (2002), Tatang (2001) dan Lilis  (2002) pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta menunjukkan   adanya praktik manajemen laba, yaitu adanya kenaikan tingkat akrual yang diskresioner (discretionary accruals).
Penelitian Dechow et al. (1996) merupakan satu-satunya sumber referensi yang penulis temukan, yang mengkaji tentang dampak dari tindakan manipulasi laba terhadap biaya modal. Kesimpulan yang diperoleh adalah biaya modal  perusahaan yang terkena sangsi SEC (Securities  Exchange  Commission)  karena  diduga melakukan manajemen laba lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan sampel kontrol.
Menurut Bagnoli dan Watts (2000), praktik manajemen laba banyak  dilakukan oleh manajemen karena mereka menganggap bahwa perusahaan lain juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian, kinerja kompetitor juga dapat  menjadi pemicu untuk melakukan praktik manajemen laba karena investor dan   kreditur akan melakukan komparasi untuk menentukan perusahaan mana yang  mempunyai  rating yang baik (favorable).


Jika investor menyadari bahwa praktik manajemen laba banyak dilakukan  oleh emiten maka ia akan melakukan antisipasi risiko dengan cara menaikkan tingkat imbal hasil saham yang dipersyaratkan. Namun bukti empirik yang   diungkapkan oleh Sloan (1996) dan Xie (2001) menunjukkan bahwa pasar tidak   mengantisipasi dengan baik informasi yang terkait dengan akrual (mispricing    akrual). Investor cenderung overestimate terhadap persistensi akrual, serta underestimate persistensi arus kas. Di sisi lain, juga terdapat bukti empirik bahwa   informasi akrual relevan untuk penilaian perusahaan ( Dechow 1994, Subramanyam 1996)
Motivasi penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah investor di Bursa Efek Indonesia telah mengantisipasi informasi akrual yang tersaji dalam laporan  keuangan emiten. Beberapa penelitian sebelumnya lebih banyak mengfokuskan  pada hubungan informasi akrual dengan harga saham (value relevance). Penelitian ini berbeda dengan sebelumnya karena melakukan kajian hubungan langsung informasi akrual dengan biaya modal ekuitas. Alasan penulis tertarik untuk mengkaji biaya modal ekuitas adalah karena biaya modal ekuitas merupakan tarip diskonto yang digunakan investor untuk menilaitunaikan arus kas yang akan diterima di masa yang akan datang. Dengan demikian, secara spesifik rumusan masalah penelitian ini adalah, apakah manajemen laba berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas.
Perilaku dan kualitas keputusan investor dipengaruhin oleh kualitas informasi yang diungkapkan perusahaan lain dalam laporan keuangan. Informasi yang berkualitas tersebut bagi investor berguna untuk menurunkan asimetri informasi. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dimasa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Apabila dihubungkan dengan peningkatan perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor guna memaksimasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui ungkapan (disclosure) informasi akuntansi. Aktivitas yang dilakukan investor di pasar modal ditentukan oleh informasi yang mereka peroleh baik secara langsung (laporan publik) maupun tidak langsung (insider trading). Oleh karena itu pelaku pasar modal mempunyai kemampuan yang terbatas tehadap persepsi masa yang akan datang, maka adanya asimetri informasi menimbulkan masalah adverse selectian yang mendorong dealer untuk menutupi kerugian dari pedagangterinformasi dengan meningkatkan spread-nya terhadap pedagang likuid.
Manajemen akan mengungkapkan informasi secara sukarela jika manfaat yang diperoleh dari pengungkapan informasi tersebut lebih besar dari biayanya (Elliot dan Jacobson, 1994). Manfaat tersebut diperoleh karena ungkapan informasi oleh perusahaan akan membantu investor dan kreditur memahami risiko investasi. Varrecchia (1991) dalam Komalasari (2000) menunjukkan bahwa dengan mengungkapkan informasi privat maka tuntutan investor terhadap kompensasi menurun karena biaya transaksi turun sehingga komponen adverse selection dan bid-ask spread berkurang dan pada akhir biaya modal ekuitas juga turun. Meskipun tinjauan secara teoritis dan analitis mengenai keterkaitan antara ungkapan, likuiditas dan biaya modal ekuitas cukup signifikan, namun tampaknya sedikit sekali penelitian empiris yang mendukung hal ini. Ketidakkonsistenan pada hasil penelitian terdahulusemakin menambah perdebatan diantara praktisi mengenai manfaat dari semakin luasnya ungkapan, sehingga penelitian untuk mengetahui hubungan antara tingkat ungkapan dan asimetri informasi tarhadap biaya modal ekuitas merupakan hal penting untuk dilakukan.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mereplikasi ulang penelitian Wiwik Utami (2006) yang berjudul “Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Biaya Modal Ekuitas (Studi pada perusahaan publik sector Manufaktur)”. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, peneliti menambah Luas Pengungkapan Sukarela dan Asimetri Informasi.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.     Apakah manajemen laba berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas?
2.     Apakah ada hubungan antara luas pengungkapan sukarela terhadap biaya modal ekuitas?
3.     Apakah ada hubungan antara asimetri informasi terhadap biaya modal ekuitas?
4.     Apakah ada hubungan beta saham terhadap biaya modal ekuitas?
5.     Apakah perusahaan mempengaruhi hubungan antara asimetri informasi terhadap biaya modal ekuitas?
C.       Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan memberikan bukti empiris mengenai:
1.    Manajemen laba berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas.
2.     Ada hubungan antara luas pengungkapan sukarela dalam terhadap biaya modal ekuitas.
3.     Ada hubungan antara asimetri informasi terhadap biaya modal ekuitas.
4.     Ada hubungan beta saham terhadap biaya modal ekuitas.
5.     Ukuran perusahaan mempengaruhi hubungan antara asimetri informasi terhadap biaya modal ekuitas.


D.    Manfaat Penelitian
1.     Untuk membantu investor lebih mengetahui dan menilai perusahaan sehingga tertarik untuk menginvestasikan modalnya dipasar modal.
2.     Untuk mengetahui apakah investor sudah merespon dengan tepat informasi akrula yang disajikan dalam laporan keuangan.
E.       Landasan Teori
1.     Manajemen Laba
Scott (1997) mendefinisikan earning management sebagai pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Scott (1997) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontak utang, dan political costs (Opportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana earning management memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui earning management, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Nelson  et  al. (2000) meneliti  praktik manajemen laba  yang  dilakukan oleh manajemen di Amerika Serikat dan mengidentifikasi penyebab auditor membiarkan manajemen laba tanpa dikoreksi. Dengan memakai data 526 kasus manajemen laba yang diperoleh  dengan  cara  survey  pada   kantor  akuntan  publik  yang  tergolong  the  big  five disimpulkan  bahwa: (1) 60% dari sampel melakukan  usaha  manajemen  laba  yang berdampak ada meningkatnya laba tahun berjalan, sisanya 40% berdampak pada penurunan laba, (2) manajemen laba yang paling banyak dilakukan adalah yang berkaitan dengan cadangan reserve), kemudian berdasarkan urutan frekuensi kejadian adalah: pengakuan pendapatan, penggabungan badan usaha (business combination), aktiva tidak berwujud, aktiva tetap, investasi, sewa guna usaha.
Untuk mendeteksi ada tidaknya manajamen laba, maka pengukuran atas akrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan, disebut normal accruals atau non discretionary accruals, dan  (2)  bagian  akrual  yang merupakan manipulasi data akuntansi yang disebut  dengan abnormal accruals atau discretionary accruals.


Thomas  dan  Zhang  (2000:347)  melakukan  studi  komparatif  tentang  berbagai metode estimasi akrual, dengan tujuan untuk mengetahui model mana yang mempunyai akurasi yang paling tinggi. Beberapa model yang dijadikan dasar komparasi, yaitu model DeAngelo (1986), model Jones (1991), model Dechow and Sloan (1991),  model Dechow (1995) serta model Kang dan Sivaramakhrisnan (1995). Penelitian    ini    lebih mengutamakan  kemampuan model  untuk  estimasi  akrual,  oleh  karena  itu  dasar  yang digunakan untuk membuat ranking adalah nilai koefisien determinan dari masing-masing model.  Hasil  yang  diperoleh  adalah  bahwa  model  Kang  dan  Sivaramakhrisnan  adalah model yang paling baik untuk digunakan dalam memprediksi akrual, ranking berikutnya adalah  model  Jones.  Thomas  dan  Zhang  (2000)  juga  menguji  apakah  jika  data  yang digunakan adalah pool data dapat memberikan akurasi yang lebih baik? Ternyata dengan memakai lebih baik. data  pool  untuk  setiap  jenis  industri  diperoleh  akurasi  model  prediksi  yang
Peasnell et al. (2000) menguji keakuratan model deteksi manajemen laba dengan memakai data cross-sectional. Ada tiga model yang diuji, yaitu model Jones (1991) dan model  Jones  yang  dimodifikasi  (Dechow  et  al.  1995),  serta  model  yang  lain  yang dirumuskan  oleh  Peasnel et  al. yaitu margin  model. Margin  model  lebih  menekankan pada  pengukuran  current  accruals,  yaitu  accruals yang  berasal  dari  piutang,    beban operasi  (tidak termasuk bad debt) dan bad debt. Alasan untuk mengabaikan non current accruals  karena  pada  umumnya  akrual yang  berasal  dari  aktiva  tetap  lebih  mudah diamati  dan  mempunyai  keterbatasan  waktu.  Hasil  penelitian  menyimpulkan  bahwa ketiga model tersebut cukup baik dalam mendeteksi manajemen laba dalam jumlah yang wajar  (sekitar  1%  sampai  5%  dari  asset).  Jika  dilihat  secara  lebih  cermat  lagi  ternyata model Jones dan   modifikasi Jones lebih baik dalam mendeteksi   manipulasi pendapatan dan bad debt, sedang margin model lebih baik dalam mendeteksi manipulasi beban.
2.     Biaya Modal Ekuitas
Biaya  modal  adalah  merupakan  konsep  yang  dinamis  yang  dipengaruhi  oleh beberapa faktor ekonomi. Struktur biaya modal didasarkan pada beberapa asumsi   yang berkaitan  dengan  risiko  dan  pajak.  Asumsi  dasar  yang digunakan  dalam estimasi  biaya modal adalah risiko bisnis dan risiko keuangan adalah tetap (relatif stabil). Biaya modal dihitung atas dasar sumber dana jangka panjang yang tersedia bagi perusahaan. Ada empat sumber dana jangka panjang yaitu: (1) hutang jangka  panjang, (2) saham preferen, (3) saham biasa, dan (4) laba ditahan. Biaya hutang jangka panjang adalah  biaya  hutang  sesudah  pajak  saat  ini  untuk  mendapatkan  dana  jangka  panjang melalui pinjaman. Biaya saham preferen adalah deviden saham preferen   tahunan dibagi dengan hasil penjualan saham preferen. Biaya modal saham biasa adalah besarnya rate yang digunakan oleh investor untuk mendiskontokan  deviden yang diharapkan  diterima yang akan datang.
Botosan  (1997)  pada  dasarnya  memakai  model  Ohlson  untuk  mengestimasi biaya modal  ekuitas.  Botosan  (1997)  menghitung ekspektasi  biaya modal  ekuitas   dengan menggunakan estimasi laba per lembar saham untuk periode empat tahun ke depan (t = 4) dan  memakai  data  forecast  laba  per  saham  yang  dipublikasikan  oleh  Value  Line.  Di Indonesia  publikasi data forecast laba per saham tidak ada, oleh karena itu untuk estimasi laba  per  saham penulis  menggunakan random walk model. Alasan untuk menggunakan estimasi    model  random  didasarkan  pada  hasil  penelitian  Rini (2002). Rini (2002) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji ketepatan prakiraan laba dengan menggunakan  beberapa  model  mekanik.  Model  mekanik  yang  digunakan  adalah  Box Jenkins  model, Random walk  model,  Foster  model,  Watts-Griffin model dan Brown- Rozellf. Secara statistik disimpulkan bahwa tidak ada  perbedaan ketepatan prakiraan laba yang  signifikan  antara  Box  Jenkins  model   dengan random  walk  model,  Foster  model, dan  Brown-Rozellf.  Oleh  karena  itu,  Rini  (2002) menyimpulkan  bahwa  random  walk model dapat digunakan sebagai alternatif  dalam mengukur prakiraan laba.  Penelitian sejenis juga telah dilakukan oleh Qizam (2001) yang menyimpulkan bahwa laba tahunan di Indonesia mengikuti  random  walk.
3.     Luas Ungkapan Sukarela
Sesuai dengan FASB No. 1 yaitu laporan keuangan harus berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, maka laporan keuangan harus dapat membantu investor dan kreditur untuk mengintepreestasi keadaan perusahaan. Manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor guna meningkatkan nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui ungkapan (disclosure) informasi akuntansi.
                Informasi yang diungkapan dalam laporan keuangan perusahaan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ungkapan wajib (enforced/mandotory disclosure) dan ungkapan sukarela (voluntary disclosure). Ungkapan laporan keuangan bermanfaat memberi guide, fasilitas untuk para investor dan pengguna dalam membuat keputusan ekonomisupaya terarah sehingga dapat memperoleh keuntungan dari investasi yang dilakukannya. Meskipun semua perusahaan publik diwajibkan untuk memenuhi ungkapan minimum, mereka berbeda secara substansial dalam jumlah tambahan informasi yang mereka ungkap kepada pasar modal.
            Marwata (2000) meneliti apakah variasi kualitas ungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan publik di Indonesia berkaitan dengan perbedaan karakteristik perusahaan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas ungkapan sukarela dalam laporan keuangan tahunan berkaitan dengan paling tidak satu hari seperangkat karakteristik perusahaan. Beberapa penelitian berkaitan dengan topik ini menggunakan indek ungkapan sebagai indikator empiris luas pengungkapan. Widiastuti (2001) mengemukakan bahwa indek ungkapan merupakan rasio antara junlah item informasi yang dipenuhi dengan jumlah elemen informasi yang mungkin dipenuhi. Makin tinggi angka indek ungkapan, maka makin tinggi luas ungkapan. Banyaknya item informasi dalam laporan tahunan yang digunakan untuk menghitung indek ungkapan bervariasi antar peneliti satu dengan peneliti lainnya, seperti cooke (1992) menggunakan 165 item, Botosan (1997) menggunakan 35 item, Susanto (1994) menggunakan 30 item, Subiyantoro (1997) menggunakan 89 item, Suripto menggunakan 33 item. Peneliti Meek et. Al (1995) menggunakan 85 item, Chow dan Boren menggunakan 24 item, Marwata (2000) menggunakan 33 item, Gulo (2000) menggunakan 33 item, Widiastuti (2001) menggunakan 33 item, Mardiyah (2002) menggunakan 18 item.
             Botosan (1997) meneliti hubungan antara tingkat ungkapan sukarela dengan cost of equity capital, dengan meregresikan cost of equity capital (yang dihitung berdasarkan market beta), ukuran perusahaan dan tingkat pengungkapan yang diukur dengan skor dikembangkan sendiri oleh peneliti yang bersangkutan. Hasilnya menununjukkan bahwa semakin besar tingkat ungkapan akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan, semakin rendah cost of equity capital-nya. Elliot dan Jacobson (1994), menemukan bahwa manfaat ungkapan informasi secara sukarela adalah semakin kecilnya biaya modal. Gulo (2000) mengemukakan bahwa penelitian teoretis mendukung hubungan negatif antara tingkat ungkapan dan cosh of equity capital didukung oleh dua aliran penelitian. Pertama, bahwa pengungkapan yang lebih menaikkan likuiditas pasar saham, dengan demikian menurunnya cost of equity capital, baik melalui menurunnya biaya-biaya transaksi atau melalui meningkatnya permintaan sekuritas saham. Penelitian ini didukung oleh Demzet (1986), Copeland dan Galai (1983),  Glosten dan Milgrom (1985), Amihud dan Mendelson (1986), serta Diamond dan Verrecchia (1991). Sedangkan aliran penelitian yang kedua didukung oleh Klein dan Bawa (1976), Barry dan Brown (1985), Coles dan Loewenstein (1988), Handa dan Linn (1993).
4.     Asimetri informasi
      Informasi akuntansi yang berkualitas berguna bagi investor untukmenurunkan asimetri informasi. Asimetri infformasi timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Ketika timbul asimetri informasi, keputusan ungkapan yang dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham sebab asimetri informasi antara investor yang lebih terinformasi dan investor kurang terinformasi menimbulkan biaya transaksi dan mengurangi likuiditas yang diharapkan dalam pasar untuk saham-saham perusahaan (Komalasari, 2000).
      Hubungan antara asimetri informasi, likuiditas perdagangan dan harga saham dikembangkan oleh peneliti sebelumnya (Demsetz, 1968; Epps, 1976; Copeland dan Galai, 1983; Glosten dan Milgrom, 1985; Diamont dan Verrecchia, 1991). Lang dan Lundlolm (1996) mengemukakan bahwa keuntungan potensial terhadap ungkapan, termasuk meningkatnya investor yang mengikuitnya, mengurangi estimasi risiko dan mengurangi asimetri informasi yang masing-masing menunjukkan pengurangan cost of equitycapital perusahaan dalam penelitian teoritikal. Gonedes (1980) berpendapat bahwa ungkapan mempunyai potensi mengurangi asimetri informasi. Penurunan asimetri informasi akan menyebabkan pengurangan dalam biaya transaksi, dimana biaya transaksi diwakili oleh bid-ask spreads.
5.      Ukuran Perusahaan
            Banyak penelitian-penelitian empiris yang berkaitan dengan ungkapan laporan keuangan sering dihubungkan dengan ukuran perusahaan secara statistik signifikan diantara keduanya. Marwata (2000) mengemukakan bahwa perusahaan yang berukuran besar cenderung memiliki public demand akan informasi lebih tinggi dibanding dengan perusahaan yang berukuran lebih kecil. Variabel ukuran perusahaan ini merupakan variabel yang sering diteliti, dan hasilnya cukup konsisten berpengaruh terhadap tingkat ungakapan dalam penelitian-penelitian sebelumnya (Wallace, 1994;Zarzeki, 1996;Suripto, 1999;Marwata, 2000;Gunawan, 2000;Komalasari, 2000)
F.        Rerangka Teori dan Penurunan Hipotesis
1.  Hubungan Manajemen Laba dengan Biaya Modal Ekuitas
Dechow  et  al.  (1996), meneliti penyebab dan konsekwensi dari tindakan manipulasi  laba,  di  mana  salah  satu  tujuannya adalah  untuk  mengetahui sejauh mana dampak   manipulasi   laba   terhadap biaya modal. Sampel yang  digunakan adalah perusahaan  yang  mendapat  sangsi  dari  Securities Exchange Commission  (SEC) karena diduga keras telah melakukan penyimpangan terhadap standar  akuntansi  yang  berlaku, dengan  tujuan  untuk memanipulasi laba. Motif  manajemen  melakukan  manipulasi  laba adalah untuk memperoleh pendanaan eksternal dengan biaya murah. Proksi yang digunakan untuk mengukur biaya modal adalah (1) harga saham, (2) bid-ask spread, dan (3)  number  of  analyst  following.  Dari  hasil analisis komparatif  antara  perusahaan  yang mendapat sangsi dari SEC karena dugaan manipulasi laba dan perusahaan  lain yang tidak bermasalah (sampel kontrol) diperoleh kesimpulan bahwa, biaya modal perusahaan yang terkena sangsi SEC lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan sampel kontrol.
Stolowy  dan  Breton  (2000)  melakukan  studi  pustaka  tentang  manipulasi  akun (account   manipulation),   yang   mencakup   manajemen   laba,   perataan   laba,   big   bath accounting,   dan  creative  accounting.  Stolowy  dan  Breton  (2000)  menjelaskan  bahwa manipulasi  akun  dilakukan  semata-mata  didasarkan  pada  keinginan  manajemen  untuk mempengaruhi  persepsi  investor  atas  risiko  perusahaan.  Risiko  tersebut  dapat  dipecah dalam dua komponen yaitu: (1) risiko yang dihubungkan dengan variasi imbal hasil, yang diukur   dengan   laba   per   lembar   saham   (earning   per   share),   dan   (2)   risiko   yang dihubungkan  dengan    struktur  keuangan  perusahaan,  yang  diukur  dengan  debt  equity ratio.  Dengan  demikian  tujuan  manajemen  laba  itu  sendiri  adalah  untuk  memperbaiki ukuran  kedua  risiko  tersebut.  Semakin  tinggi  tingkat  manajemen  laba  menunjukkan semakin  tinggi  risiko  imbal  hasil  saham  dan  konsekuensinya  investor  akan  menaikkan rate biaya  modal ekuitas.
H1: Manajemen laba berpengaruh positip terhadap biaya modal ekuitas
2.  Hubungan antara Asimetri informasi dengan Biaya Modal Ekuitas
      Komalasai (2000) meneliti hubungan antara asimetri informasi dan biaya modal ekuitas, dimana asimetri informasi diukur dengan menggunakan bid-ask spread. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara asimetri informasi dengan biaya modal ekuitas. Dari beberapa penelitian terdahulu, asimetri informasi sering diproksikan dengan bid-ask spread. Mardiyah (2002) menemukan ada pengaruh positif antara asimetri informasi dengan biaya modal ekuitas. Hal ini berarti bahwa semakin kecil asimetri informasi yang terjadi antara partisipan pasar modal makan semakin kecil kos modal sendiri yang ditanggung oleh perusahaan.
H2: Ada hubungan antara asimetri informasi dengan biaya modal ekuitas


3.      Hubungan antara luas pengungkapan sukarela dengan biaya modal ekuitas
    Hasil penelitian Diamond dan verrecchia (1991) dalam Komalasari (2000) menunjukkan bahwa dengan mengungkapkan informasi privat maka tuntutan investor terhadap kompensasi penurunan karena biaya transaksi turun sehingga komponen adverse selection dari bid-ask spread  berkurang dan pada akhirnya biaya modal ekuitas juga turun, atau dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ungkapan infomasi dengan biaya modal ekuitas.
      Gulo (2000) menguji efek luas pengungkapan sukarela yang disampaikan oleh manajemen dalam laporan keuangan tahunan terhadap biaya modal ekuitas perusahaan. Hasil pengujian empiris menunjukkan bahwa variabel indeks pengungkapan sukarela yang disampaikan oleh perusahaan dalam laporan tahunan secara statistik tidak mempunyai hubungan negatif yang signifikan dengan estimasi biaya modal ekuitas perusahaan.
H3: Ada hubungan antara luas pengungkapan sukarela dengan biaya modal ekuitas.


4.      Hubungan antar Beta Saham dengan Biaya Modal Ekuitas
      Beta saham merupakan suatu pengukuran volatilitas (volutility) return suatu sekuritas atau return portofolio terhadap return pasar. Botosan (1997) meneliti hubungan antara tingkat ungakapan sukarela dengan biaya ekuitas, dengan meregresikan biaya ekuitas (yang dihitung berdasarkan market beta). Ukuran perusahaan, dan tingkat ungkapan yang diukur dengan skor yang dikembangkan sendiri oleh peneliti yang bersangkutan.
H4: Ada hubungan antar beta saham dengan biaya modal ekuitas
5.      Ukuran perusahaan mempengaruhi hubungan antara asimetri informasi dengan biaya modal ekuitas
       Banyak penelitian-penelitian empiris yang berkaitan dengan ungkapan laporan keluangan sering dihubungkan dengan ukuran perusahaan secara statistik signifikan di antara keduanya. Marwata (2000) mengemukakan bahwa perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung memiliki public demand akan informasi lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang berukuran lebih kecil. Variabel ukuran perusahaan ini merupakan variabel yang sering diteliti, dan hasilnya cukup konsisten berpengaruh terhadap tingkat ungkapan dalam penelitian-penelitian sebelumnya (Wallace, 1994;Zarkezi, 1996;Suripto,1999;Darmawati, 1999;Marwata, 2000;Gunawan, 2000;Komalasari, 2000).
      Diamond dan Verrecchia (1991) dalam Komalasari (2000) menyatakan bahwa perusahaan yang lebih besar dengan total resiko yang ditanggung oleh investor lebih besar, akan mendapatkan keuntungan per saham yang terbesar (dalam hal ini peningkatan nilai saham) sebagai hasil dari peningkatan ungkapan. Dari latar belakang diatas maka hipotesisnya adalah:
H5: Ukuran perusahaan mempengaruhi hubungan antara asimetri informasi dengan biaya modal ekuitas
G.    Metode Penelitian
a.     Objek Peneltian
                 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama periode 2005-2009.
b.    Jenis Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data penelitian ini berupa laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2005 sampai tahun 2009 yang bisa dilihat dalam Indonesia Capital Market Directory (ICMD) dan annual report perusahaan sampel.
c.     Teknik Pengambilan Sampel
                 Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representative sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Adapun kriteria yang digunakan untuk memilih sampel adalah sebagai berikut:
1.      Perusahaan manufaktur yang sudah go public atau terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama periode 2005-2009.
2.      Perusahaan mempublikasikan laporan keuangan tahunan untuk periode 31 desember 2005-2009 yang dinyatakan dalam rupiah.
3.      Data yang tersedia lengkap (data secara keseluruhan tersedia pada publikasi periode 31 desember 2005-2009). Apabila data yang diperlukan tidak tersedia dan atau data tidak tersedia selama lima tahun berturut-turut maka, data harus dikeluarkan dari sampel.
d.    Teknik Pengumpulan Data
                 Pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi karena data merupakan data sekunder yang diperoleh dari pojok BEI UMY dan situs Bursa Efek Jakarta (www.idx.co.id).
e.     Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1)      Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah biaya modal ekuitas. Perhitaungan biaya modal ekuitas menggunakan metode Capital asset Pricing Model (CAMP)


2)      Variabel Independen
1.      Manajemen laba
Manajemen laba diproksi berdasarkan rasio akrual modal kerja dengan penjualan. Manajemen laba (ML) = Akrual Modal kerja (t) / Penjualan periode (t).
2.      Asimetri informasi
Dalam menghitung besarnya bid-ask spread (sebagai proksi asimetri informasi) dalam penelitian ini menggunakan model yang dipakai Komalasari (2000).
3.      Ukuran perusahaan
Ukuran perusahaan diukur dengan nilai pasar ekuitas.
4.      Beta Saham
Beta saham yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan beta koreksi yang tersedia di BEI UMY yang dihitung dengan menggunakan metode folwer dan Rorke untuk periode 4 lag dan 4 lead sesuai dengan hasil penelitian Hartono (1999).


f.      Uji Kualitas Data
1.      Uji Validitas
Uji validitas merupakan konsep pengukuran yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Nazaruddin, 2007). Uji validitas dilakukan dengan uji homogenitas data yaitu dengan melakukan uji korelasi antara skor item-item pertanyaan dengan skor total  (pearson Corelation). Syarat uji validitas yaitu masing-masing item harus berkorelasi positif terhadap skor total pada tingkat signifikan 5% atau α (0.05).
2.      Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dimaksudkan untuk menentukan tingkat kepercayaan minimal yang dapat diberikan terhadap kesungguhan jawaban yang diterima. Uji reliabilitas instrumen penelitian dilaksanakan dengan melihat konsistensi koefisien Cronbach Alpha untuk semua variabel. Menurut Nunnaly (1978) & Ghozali (2005) instrumen dikatakan handal (reliable) jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6 maka instrumen penelitian dinyatakan reliabel.


3. Uji Asumsi Klasik
Penelitian ini menggunakan tiga jenis uji asumsi klasik yang mendasari model analsis regresi, yaitu: pengujian multikolinieritas dengan menggunakan nilai tolerance dan varian inflation factor (VIF), pengujian heteroskedastisitas dengan menggunakan metode glejser, dan pengujian normalitas dengan menggunakan normal probability plot.
a.      Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas merupakan uji yang ditujukan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model uji regresi yang baik apabila tidak terjadi multikoliniearitas (Nazaruddin, 2007).
Analisis untuk mendeteksi adanya gejala multikolinieritas adalah dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor). Apabila VIF kurang dari 10 maka tidak akan terjadi gejala multikolinieritas, tapi jika nilai VIF melebihi angka 10 maka terjadi multikolinieritas.
b.  Uji heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas menunjukkan bahwa varians variabel tidak sama untuk semua pengamatan. Jika varians dari residual satu pengamatan kepengamatan yang lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas (Nazaruddin, 2007). Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas.
Salah satu cara untuk melihat adanya problem heterokedastisitas adalah dengan menggunakan uji glejser. Uji glejser dilakukan dengan cara meregres nilai absolut residualnya terhadap variabel independen (Ghozali, 2005). Jika variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi variabel, maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas.
c.  Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah dalam model-model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah model regresi yang berdistribusi normal. Salah satu cara untuk mengetahui normalitas data adalah dengan menggunakan normal probability plot. Jika data berdistribusi normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya (Ghozali, 2005).
d.     Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan periode t-1 pada persamaan regresi linier. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah terjadi autokorelasi atau tidak adalah dengan melakukan Uji breusch-godfrey.
Uji breusch-godfrey dilakukan dengan cara membentuk variabel lag residual. Untuk mengetahui apakah data lolos uji autokorelasi maka dapat dianalisis dengan cara melihat  koefisien parameter untuk variabel residual. Apabila koefisien parameter untuk variable residual signifikan pada alpha 5% maka mengindikasikan bahwa terjadi autokorelasi.
g.     Uji Hipotesis dan Analisis Data
Pengujian hipotesis dilakukan untuk memastikan besarnya pengaruh manajemen laba terhadap biaya modal ekuitas. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi berganda (multiple regression) dengan program SPSS versi 11,5.
1.                                                                                                                                                                                                1. Uji T
Uji T digunakan untuk menguji secara individu variabel dependen pada independen. Dalam penelitian ini digunakan tngkat signifikan (α) 0,05 untuk menguji apakah hipotesis yang digunakan dalam penelitian didukung atau tidak. Langkah-langkah sebagai berikut:



a.    Menentukan hipotesis.
b.    Taraf sig (α) 5 % (0,05).
c.    SPSS versi 11,5.
d.   Membandingkan nilai sig dengan alpha (α).
e.    Pengambilan keputusan: (1) jika p value < α maka hipotesis diterima, (2) jika p value > α maka hipotesis ditolak.
2. Uji F
Uji F-test dengan tingkat signifikan p value 0,000 atau α (5% atau 0,05). Langkah-langkah pengujian sebagai berikut:
a.    Menentukan α (5% atau 0,05).
b.    Membandingkan sig dengan α (5% atau 0,05).
c.    Pengambilan keputusan: (1) jika sig < α (5% atau 0,05) maka variabel independen secara bersama-sama berhubungan dengan variabel dependen, (2) jika sig < α (5% atau 0,05) maka variabel independen tidak secara bersama-sama berhubungan dengan variabel dependen.


3. Pengujian Determinasi
        Uji koefisien determinasi dilakukan untuk melihat sejauh mana variable independen dapat menjelaskan variabel dependen dalam penelitian. Semakin kecil nilai yang ditunjukkan oleh adj R-Square  maka menunjukkan semakin lemah pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

ARTKEL TERKAIT



1 komentar:

lot a love fashion mengatakan...

Ass.wr.wb
saya sedang dalam proses skripsi tentang asimetri informasi juga, saya mau menanyakan bagamana mendapatkan data ask-bid dan varians return (VAR)?
trims.

Posting Komentar