Rabu, 28 September 2011

Pengaruh Manajemen Laba dan Asimetri Informasi terhadap Biaya Modal Ekuitas

INTISARI
            Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari dan menganalisa Pengaruh Manajemen Laba dan Asimetri Informasi terhadap Biaya Modal Ekuitas (Studi pada Perusahaan Publik Sektor Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Sampel yang digunakan adalah perusahaan Manufaktur yang listing di BEI selama 3 tahun berturut-turut yaitu dari tahun 2007-2009. Total perusahaan sampel adalah 32 perusahaan selama 3 tahun sehingga didapatkan data sebanyak 96. Data diperoleh dengan metode purposive sampling. Manajemen laba diproksikan dengan discretionary accrual menggunakan rumus modifikasi Jones. Asimetri informasi adalah merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospeknperusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Biaya modal ekuitas adalah merupakan konsep dinamis yang dipengaruhi oleh beberapa factor ekonomi.
            Hasil anailsis regresi berganda pada penelitian ini menunnjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas sedangkan variable asimetri informasi tidak berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas. Kesimpulannya adalah hipotesis pertama dalam penelitian ini mendapatkan dukungan secara empiris sedangkan hipotesis kedua dalam penelitian ini tidak mendapat dukungan secara empiris.
Kata Kunci: Asimetri informasi, Biaya modal ekuitas, manajemen laba
BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang Penelitian
      Laporan keuangan merupakan bagian utama dalam pelaporan yang dapat dijadikan sarana penting untuk mengkomunikasikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, baik internal maupun eksternal. Laporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi kepada pemakai laporan agar dapat membantu menterjemahkan aktivitas ekonomi dari suatu perusahaan, oleh karena itu laporan keuangan menjadi perhatian utama bagi penggunanya untuk mengambil keputusan. Menurut Healy dan Palepu dalam Utami (2005), ada tiga kondisi yang menyebabkan komunikasi melalui laporan keuangan tidak sempurna dan tidak transparan, yaitu: (1) dibandingkan dengan investor, manajemen memiliki informasi lebih banyak tentang strategi dan operasi bisnis yang dikelolanya, (2) kepentingan manajemen tidak selalu selaras dengan kepentingan investor, dan (3) ketidaksempurnaan dari aturan akuntansi dan audit.
         Laporan keuangan menjadi alat utama bagi perusahaan untuk menyampaikan informasi keuangan mengenai pertanggungjawaban pihak manajemen (Shcipper dan Vincent, 2003 dalam Boediono, 2005). Penyampaian informasi melalui laporan  keuangan tersebut perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak eksternal maupun internal yang kurang memiliki wewenang untuk memperoleh informasi yang mereka butuhkan dari sumber langsung perusahaan. Seperti yang dinyatakan dalam SFAC nomor 8 tujuan umum laporan keuangan tidak dirancang untuk menampilkan nilai dari suatu entitas pelaporan, tetapi mereka memberikan informasi untuk membantu investor yang ada dan potensial, kreditur dan kreditur lainnya untuk memperkirakan nilai dari entitas pelaporan.
         Informasi laba membantu pemilik atau pihak lain dalam mengestimasi kekuatan laba untuk menaksir investasi dan kredit. Pentingnya informasi laba tersebut harus disadari oleh pihak manajemen sebagai pihak yang diukur kinerjanya. Laba juga digunakan sebagai alat untuk mengukur kinerja manajemen selama periode tertentu yang pada umumnya menjadi perhatian pihak-pihak tertentu terutama dalam menaksir kinerja dalam pertanggungjawaban manajemen dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka, serta digunakan untuk memperkirakan prospeknya di masa depan. Dengan adanya alasan tersebut akan mendorong timbulnya praktik manajemen laba. Menurut Bagnoli dan Watts (2000) dalam Utami (2005), praktik manajemen laba banyak  dilakukan oleh manajemen karena mereka menganggap bahwa perusahaan lain juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian, kinerja kompetitor juga dapat  menjadi pemicu untuk melakukan praktik manajemen laba karena investor dan kreditur akan melakukan komparasi untuk menentukan perusahaan mana yang mempunyai  rating yang baik (favorable).
         Manajemen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan eksternal guna mencapai tingkat laba tertentu dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri atau perusahaannya sendiri (Saputro dan Setiawati, 2004). Sedangkan menurut Copeland dalam Utami (2005), manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen.
         Setiawati dan Na’im dalam Margaretha (2004), menyatakan bahwa manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan. Oleh karena itu, pendeteksian terhadap indikasi manajemen laba pada laporan keuangan menjadi perlu untuk dilakukan. Dalam penelitian yang dilakukan Leuz et al. (2003) dalam Utami (2005), mengenai studi komparatif internasional tentang manajemen laba dan proteksi investor, didapat bukti empiris bahwa tingkat manajemen laba emiten di indonesia relatif tinggi dan proteksi terhadap investor relatif rendah. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi investor dalam mempertimbangkan besaran akrual (proksi manajemen laba) dalam menentukan tingkat imbal hasil saham yang dipersyaratkan tersebut adalah tingkat pengembalian yang diinginkan oleh investor untuk mau menanamkan uangnya di perusahaan, dan dikenal dengan sebutan biaya modal ekuitas.
            Dalam penelitian Utami (2005) dijelaskan bahwa biaya modal ekuitas adalah besarnya tingkat yang digunakan oleh investor untuk mendiskontokan deviden yang diharpakan diterima di masa yang akan datang, yang diukur dengan model penilaian perusahaan. Utami (2005) membuktikan bahwa manajemen laba mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap biaya modal ekuitas, artinya bahwa semakin tinggi tingkat akrual, maka semakin tinggi biaya modal ekuitas. Jika investor menyadari bahwa praktek manajemen laba banyak dilakukan oleh emiten, maka ia akan melakukan antisipasi resiko dengan cara menaikkan tingkat imbal hasil saham yang dipersyaratkan (Utami, 2005).
            Perilaku dan kualitas keputusan investor dipengaruhi oleh kualitas informasi yang diungkapkan perusahaan lain dalam laporan keuangan. Informasi yang berkualitas tersebut bagi investor berguna untuk menurunkan asimetri informasi. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Apabila dihubungkan dengan peningkatan kinerja perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor guna memaksimasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui ungkapan (disclosure) informasi akuntansi. Aktivitas yang dilakukan investor di pasar modal ditentukan oleh informasi yang mereka peroleh baik secara langsung (laporan publik) maupun tidak langsung (insider trading). Oleh karena itu pelaku pasar modal mempunyai kemampuan yang terbatas tehadap persepsi masa yang akan datang, maka adanya asimetri informasi menimbulkan masalah adverse selectian yang mendorong dealer untuk menutupi kerugian dari pedagang terinformasi dengan meningkatkan spread-nya terhadap pedagang likuid.
      Komalasari dan Baridwan (2001) dalam Aida (2002) menguji asimetri informasi dan biaya modal ekuitas  bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai asimetri informasi dan pengaruhnya terhadap biaya modal ekuitas secara langsung. Secara khusus menguji apakah pengurangan asimetri informasi yang ditangkap oleh naiknya likuiditas pasar dapat menurunkan biaya modal ekuitas dan apakah penurunan biaya modal pada perusahaan besar lebih besar dibandingkan perusahaan kecil. Kim dan Verrecchia (1994) dalam Aida (2002) telah membuat model hubungan likuiditas pasar dan pengumuman laba. Hasilnya bahwa pengumuman laba secara publik dapat mengurangi kos pemrosesan informasi secara individual ataupun institusional. Kos berkurang karena informasi yang diterima oleh partispan pasar relatif sama. Jika asimetri informasi meningkat maka maka pasar menjadi kurang likuid. Penurunan likuiditas dan peningkatan informasi asimetri ini akan membawa pada harga sekuritas yang tinggi, sehingga biaya modal meningkat.
      Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mereplikasi ulang penelitian Wiwik Utami (2005) yang berjudul “Pengaruh Manajemen Laba dan Asimetri Informasi Terhadap Biaya Modal Ekuitas (Studi pada perusahaan publik sektor Manufaktur)”.
B.       Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.     Apakah manajemen laba berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas?
2.     Apakah asimetri informasi berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas?
C.       Tujuan Penelitian
      Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan memberikan bukti empiris mengenai:
1.    Pengaruh manajemen laba terhadap biaya modal ekuitas.
2.     Pengaruh asimetri informasi terhaadap biaya modal ekuitas.
D.    Manfaat Penelitian
      Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, diantaranya:
1. Untuk membantu investor lebih mengetahui dan menilai perusahaan sehingga tertarik untuk menginvestasikan modalnya di pasar modal.
       2.   Untuk mengetahui apakah investor sudah merespon dengan tepat informasi akrual yang disajikan dalam laporan keuangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Landasan Teori
1.      Manajemen Laba
a.      Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan eksternal guna mencapai tingkat laba tertentu dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri atau perusahaan sendiri (Saputro dan Setiawati, 2004). Hal ini senada juga diungkapkan Copeland (1968) dalam Utami (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen. Menurut Scott dalam Halim dkk. (2005), manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar. Hal ini senada juga diungkapkan Schipper (1989) dalam Widodo Lo (2005) yang berpendapat bahwa manajemen laba adalah suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal yang dengan sengaja memperoleh beberapa keuntungan pribadi.
Healy dan Whalen (1999) dalam Sutrisno (2002) mengemukakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian dalam laporan keuangan sehingga menyesatkan penilaian stakeholder mengenai kinerja perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil konstraktual yang bergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan. Suyatmin dan Suwarno (2002) mengemukakan bahwa manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan pertimbangan atau judgment-nya dalam pelaporan keuangan dan di dalam perancangan transaksi yang terstruktur untuk mengubah laporan keuangan yang menyesatkan stakeholder tentang dasar kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil sesuai kontrak yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Pengertian manajemen laba menurut Suyatmin dan Suwarno (2002), yaitu suatu tindakan manajemen yang berakibat pada dilaporkannya pendapatan dan penyediaan keuntungan ekonomi yang tidak benar untuk oraganisasi dan mungkin dalam jangka panjang serta terjadinya kerusakan. Mardiyah dan Pujiastuti (2006) mengemukakan bahwa manajemen laba merupakan tindakan manajemen dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran pribadinya atau untuk meningkatkan nilai perusahaan. Scott (1997) dalam Halim dkk (2005) juga membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak hutang, dan political cost (opportunistic earnings management). Kedua dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient earnings management) yaitu manajemen laba memberikan suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak terduga untuk kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
b.      Motivasi Manajemen Laba

      Beberapa motivasi terjadinya manajemen laba menurut Scott (1997) dalam Sukartha (2007), yaitu:
1)      Motivasi Program Bonus (Bonus Plan Motivations).
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.
2)      Motivasi politik (Political Motivations)
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan yang lebih ketat.
3)      Motivasi Perpajakan (Taxation Motivations)
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.


4)      Motivasi perubahan CEO (Changes of CEO Motivations)
CEO (Chief Executive Officer) yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk menaikkan bonus mereka, dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5)      Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
6)      Motivasi perjanjian utang (Debt Covenants Motivations)
Perjanjian utang timbul karena adanya kontrak jangka panjang yang dilakukan oleh manajemen laba. pelanggaran terhadap hal tersebut akan mengakibatkan biaya yang tinggi terhadap perusahaan, oleh karena itu manajer berusaha untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap covenant.
Healy dan Wahlen (1999) dalam Qomariyah (2006) membagi motivasi earnings management menjadi tiga, yaitu:
a.  Capital Market
Penggunaan secara luas informasi akuntansi oleh investor dan analis keuangan untuk membantu menilai saham dapat menciptakan insentif bagi manajemen untuk memanipulasi laba dalam usaha mempengaruhi harga saham.
b.      Constructing Motivations
Healy dan Wahlen (1999) dalam Qomariyah (2006) membaginya menjadi dua, yaitu: lending constract dan management compensation constract. Esensi penjelasan Healy dan Wahlen (1999) sama dengan uraian Scott (2000) di atas, dimana penjelasan lending constract motivatons sama dengan other constractual motivations dan management compensations, constract motivations sama dengan bonus scheme motivations.
c.       Regulatory Motivations
Terdapat tiga bentuk dalam motivasi ini, yaitu:
1)      Industry Regulations Motivations
Industri-industri diatur dengan derajat pengaturan berbeda di masing-masing industri, beberapa diantaranya seperti industri perbankan dan asuransi menghadapi pemantauan yang lebih ketat oleh pihak regulator termasuk data-data akuntansi. Peraturan perbankan mengharuskan bank mencapai Cumulative Abnormal Return (CAR) tertentu, sedangkan peraturan asuransi menghasilkan perusahaan asuransi memenuhi syarat-syarat kesehatan keuangan minimum. Peraturan seperti ini menciptakan insentif bagi manajemen untuk mengatur laporan keuangan dan neraca sesuai dengan kepentingan pihak regulator.

2)      Anti-trust and Other Regulations
Perusahaan yang berbeda di dalam penyelidikan pelanggaran anti-trust atau menghadapi konsekuensi politik yang tidak menguntungkan memiliki insentif untuk mengatur labanya agar tampak kurang menguntungkan. Manajemen yang memiliki subsidi dan proteksi pemerintah juga memilki insentif yang sama.
3)      Tax Planning Purposes
Healy dan Wahlen (1999) tidak menjelaskan bagian ini, karena menurutnya earnings management untuk tujuan perencanaan pajak merupakan bagian tugas (dominant) otorisasi pajak yang memiliki insentif yang sama.
c.       Teknik Manajemen Laba
Setiawati dan Na’im (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) mengungkapkan bahwa manajemen laba dapat dilakukan oleh tiga teknik sebagai berikut:
1)      Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain –lain.



2)      Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh : merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3)      Menggeser periode biaya atau pendapatan
Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain : mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran pengiriman produk ke pelanggan, dan mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai.
d.      Pembentukan Manajemen Laba
Menurut Sutrisno (2002), terdapat beberapa aspek manajemen laba yang berhubungan dengan tujuan penelaahan dan studi yang relevan, yaitu:
1) Manajemen dapat menggunakan pertimbangan dari pengaruh pelaporan keuangannya. Sebagai contoh, pertimbangan yang disyaratkan untuk mengestimasi jumlah kejadian ekonomi dimasa mendatang yang direfleksikan dalam laporan keuangan, seperti taksiran ekonomis dan nilai sisa aktiva tetap, keuntungan dari penangguhan pajak, kerugian piutang, dan sebagainya.
2) Kerangka definisi tujuan dari manajemen laba adalah untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada stakeholders atau beberapa kelompok stakeholders tentang kinerja yang mendasari ekonomi perusahaan. Manajer dapat menggunakan pertimbangan akuntansi untuk melakukan pelaporan keuangan yang lebih informatif kepada pemakai.
3) Untuk menentukan pelaksanaan yang lebih awal, manajemen dapat menggunakan laporan keuangan dengan pertimbangan cost and benefit. Cost merupakan potensi kesalahan alokasi sumber daya yang timbul dari manajemen laba, sedangkan benefit meliputi potensi pengembangan kredibilitas komunikasi manajemen dari informasi privat untuk stakeholders eksternal.
e. Pola Manajemen Laba
Menurut Scott (2003) earnings management dapat dilakukan
dengan empat pola, antara lain:
1)      Taking a Bath (mengambil sikap aman)
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang.
2)      Income Minimization (meminimumkan laba)
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.



3)      Income Maximization (memaksimumkan laba)
Dilakukan manajemen perusahaan untuk mendapatkan bonus. Tindakan ini bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar.
4)      Income Smoothing (meratakan laba)
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

2.      Asimetri Informasi
Informasi akuntansi yang berkualitas berguna bagi investor untuk menurunkan asimetri informasi. Asimetri informasi timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Ketika timbul asimetri informasi, keputusan ungkapan yang dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham sebab asimetri informasi antara investor yang lebih terinformasi dan investor kurang terinformasi menimbulkan biaya transaksi dan mengurangi likuiditas yang diharapkan dalam pasar untuk saham-saham perusahaan (Komalasari, (2000) dalam Siti, (2004)).
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Ada dua tipe asimetri informasi (Rahmawati dkk, 2007), yaitu:
1)      Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek masa depan suatu perusahaan dari pada investor luar.
2)      Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dimana suatu pihak atau lebih yang melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedang pihak-pihak lain tidak. Moral hazard dapat terjadi karena pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
                                    Asimetri informasi menyebabkan prinsipal melindungi diri mereka dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Bhattacharya dan Spiegel dalam Rahmawati dkk. (2007) berpendapat bahwa asimetri informasi menyebabkan ketidakinginan untuk berdagang dan meningkatkan biaya modal seperti investor “melindungi harga” miliknya melawan kerugian potensial dari perdagangan dengan partisipan yang memiliki informasi lebih baik.
                                    Puput dan Zaki (2002) menyatakan bahwa asimetri informasi antara investor yang lebih informed dan kurang informed akan menimbulkan kos transaksi dan mengurangi likuiditas dalam pasar untuk saham suatu perusahaan. Guna memaksimumkan nilai perusahaan, manajer berupaya untuk mengurangi asimetri informasi dengan cara yang dikehendakinya (opportunistic). Ketika terdapat asimetri informasi, keputusan pengungkapan yang dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham.
                                    Pengukuran tingkat asimetri informasi seringkali diproksikan dengan likuiditas (Puput dan Zaki, 2002). Bid-ask spread merupakan salah satu pengukur dari likuiditas pasar yang telah digunakan secara luas dalam penelitian terdahulu sebagai pengukur asimetri informasi antara manajemen dan pemegang saham perusahaan (Puput dan Zaki, 2002; Siti, 2004; Rahmawati dkk., 2007).
                                    Sebagai bukti dari kemampuan bid-ask spread dalam menangkap seputar informasi dari perusahaan ditunjukkan oleh Healy dkk. (1995) dan Welker (1995) dalam Rahmawati dkk (2007) yang melaporkan bukti hubungan negatif antara bid-ask spread dan kebijakan pengungkapan. Beberapa penelitian empiris juga telah menyelidiki keterkaitan informasi akuntansi terhadap bid-ask spread antara lain Greenstein dan Sami, Krinsky dan Lee serta Raman dan Tripathy dalam Puput dan Zaki (2002) yang menemukan bahwa ketersediaan informasi akuntansi dapat mengurangi bid-ask spread.
3.      Biaya Modal Ekuitas
Menurut Utami (2005), biaya modal adalah merupakan  konsep  yang  dinamis  yang  dipengaruhi  oleh beberapa faktor ekonomi. Struktur biaya modal didasarkan pada beberapa asumsi yang berkaitan  dengan  risiko  dan  pajak.  Asumsi  dasar  yang digunakan  dalam estimasi  biaya modal adalah risiko bisnis dan risiko keuangan adalah tetap (relatif stabil). Biaya modal dihitung atas dasar sumber dana jangka panjang yang tersedia bagi perusahaan. Ada empat sumber dana jangka panjang yaitu: (1) hutang jangka  panjang, (2) saham preferen, (3) saham biasa, dan (4) laba ditahan. Biaya hutang jangka panjang adalah  biaya  hutang  sesudah  pajak  saat  ini  untuk  mendapatkan  dana  jangka  panjang melalui pinjaman. Biaya saham preferen adalah deviden saham preferen tahunan dibagi dengan hasil penjualan saham preferen. Biaya modal saham biasa adalah besarnya rate yang digunakan oleh investor untuk mendiskontokan  deviden yang diharapkan  diterima yang akan datang.
      Biaya ekuitas disini hanya mengacu pada tingkat pengembalian yang merupakan hak investor atas investasinya di perusahaan tertentu Ross et al. (1998) dalam Juniarti (2003). Dalam subyek cost of capital secara keseluruhan, maka cost of equity ini adalah yang paling sulit, karena tidak ada cara untuk mengamati atau mengetahui secara langsung tingkat return yang diharapkan oleh investor. Menurut Botosan (1997) dalam Juniarti (2003) biaya ekuitas dipengaruhi oleh tingkat disclosure, risiko (BETA) dan nilai pasar ekuitas. Menurut Ross et al. dalam menentukan cost of equity, terdapat dua pendekatan, yaitu The Dividend Growth Model Approach dan The SML (Security Market Line) Approach atau CAPM (Capital Asset Pricing Models) Dalam penelitian ini hanya menggunakan pendekatan kedua, yaitu The SML (Security Market Line) Approach, yang lebih dikenal dengan istilah CAPM (Capital Asset Pricing Model).

B.     Hasil Penelitian Terdahulu dan Penurunan Hipotesis
1.         Manajemen Laba dan Biaya Modal Ekuitas
Menurut Copeland dalam Utami (2005), manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen. Sedangkan pengertian biaya modal ekuitas adalah besarnya rate yang digunakan oleh investor untuk mendiskontokan deviden yang diharapkan diterima dimasa yang akan datang (Utami, 2005). Penelitian Leuz et al (2003) dalam Utami (2005), mengenai studi komparatif internasional tentang manajemen laba dan proksi investor, membuktikan bahwa tingkat manajemen laba emiten di indonesia relatif tinggi dan proteksi terhadap investor relatif rendah.
Hal ini menimbulkan adanya pertanyaan bagi investor dalam mempertimbangkan besaran akrual (proksi manjemen laba) dalam menetukan tingkat imbal hasil saham yang dipersyaratkan, dimana tingkat imbal hasil saham dipersyaratkan tersebut adalah tingkat pengembalian yang diinginkan oleh investor untuk mau menanamkan uanganya di perusahaan, dan dikenal dengan sebutan biaya modal ekuitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas karena tujuan dari manajemen laba itu sendiri adalah untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, hal ini dapat berpengaruh tinggi rendahnya deviden dalam biaya modal ekuitas. Jika manajemen laba bertujuan untuk memaksimalkan laba, maka deviden perusahaan akan tinggi, namun demikian juga dengan sebaliknya, jika manajemen laba bertujuan untuk meminimumkan laba, maka deviden perusahaan akan rendah. Apabila perusahaan memiliki laba yang rendah, kemungkinan peruasahaan tidak membagikan deviden.
Sedangkan Utami (2005) menemukan bukti bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap biaya modal ekuitas dengan menggunakan model pengukuran Ohlson sebagai proksi pengukuran biaya modal ekuitas, artinya semakin tinggi tingkat akrual, maka semakin tinggi biaya modal ekuitas. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat manajemen laba di Indonesia yang relatif tinggi seperti yang diungkapkan Leuz et al. (2003) telah diantisipasi dengan cermat oleh investor di Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diturunkan rumusan hipotesi sebagai berikut:
            H1: Manajemen laba berpengaruh positif terhadap biaya modal ekuitas
2.      Asimetri Infomasi dengan Biaya Modal Ekuitas
Kim dan Verrecchia (1994) dalam Aida (2002) telah membuat model hubungan likuiditas pasar dan pengumuman laba. Hasilnya bahwa pengumuman laba secara publik dapat mengurangi kos pemrosesan informasi secara individual ataupun institusional. Kos berkurang karena informasi yang diterima oleh partisipan pasar relatif sama. Biaya pemrosesan agregat dari partisipan pasar ini akan mempengaruhi likuiditas pasar. Jika biaya pemrosesan tinggi (karena asimetri informasi meningkat), maka pasar menjadi kurang likuid. Penurunan likuiditas pasar dan peningkatan asimetri informasi ini akan membawa pada harga sekuritas yang tinggi, sehingga cost of capital juga meningkat.
Murni (2004), meneliti pengaruh asimetri informasi terhadap cost of equity capital, yang kemudian mengemukakan bahwa asimetri informasi berpengaruh terhadap cost of equity capital. Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien asimetri informasi positif sebesar 0,035 dengan tingkat signifikan 0,081, dengan tingkat alpha sebesar 0,10. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ukuran perusahaan secara signifikan mempunyai pengaruh terhadap hasil pengujian serta dapat disimpulkan bahwa semakin besar asimetri informasi maka cost of equity capital perusahaan semakin besar, sebaliknya dengan menurunnya asimetri informasi maka cost of equity capital perusahaan juga semakin turun.
Komalasari dkk. (2001) dalam Aida (2002) mengembangkan riset analisis yang dilakukan oleh Diamond dan Verrecchia (1991), dengan tujuan untuk menarik bukti empirik mengenai asimetri informasi dan pengaruhnya terhadap cost of equity capital secara langsung. Penelitian Komalasari secara khusus menguji apakah pengurangan asimetri informasi yang ditangkap oleh naiknya likuiditas pasar dapat menurunkan cost of equity capital pada perusahaan besar lebih besar dibadingkan perusahaan kecil.
Mardiyah (2002) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi dampak dari informasi asimetri dan pengungkapan terhadap cost of capital dengan menggunakan yang diambil secara stratified random sampling. Penelitian ini menghasilkan temuan antara lain membuktikan bahwa asimetri informasi dan pengungkapan mempunyai dampak yang interaktif pada cost of capital. Penelitian ini menemukan hubungan positif antara asimetri informasi dengan cost of capital. Hal ini berarti semakin kecil asimetri informasi yang terjadi diantara partisipan pasar semakin kecil cost of equity yang ditanggung oleh perusahaan.
Komalasari dkk. (2001) meneliti hubungan antara asimetri informasi dan biaya modal ekuitas, dimana asimetri informasi diukur dengan menggunakan bid-ask spread. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara asimetri informasi dengan biaya modal ekuitas. Dari beberapa penelitian terdahulu, asimetri informasi sering diproksikan dengan bid-ask spread.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diturunkan rumusan hipotesi sebagai berikut:
            H2: Asimetri informasi berpengaruh positif terhadap biaya modal ekuitas

C.    Model Penelitian
Variabel Independen                                    Variabel Dependen
Manajemen Laba
Asimetri Informasi
Biaya Modal Ekuitas
                       
                        Penelitian akan menguji pengaruh variabel independe yaitu manajemen laba dan asimetri informasi terhadap variabel dependen yaitu biaya modal ekuitas dengan memasukkan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol. Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga tidak mempengaruhi variabel utama yang akan diteliti yaitu manajemen laba, asimetri informasi dan biaya modal ekuitas.

 BY: Apriadi (UMY)

ARTKEL TERKAIT



0 komentar:

Posting Komentar